
Perkembangannya cukup besar, kalau dulu orang melihat robusta sebagai kopi sampah, kopi jelek, komersial, nggak trendy atau cuma diminum kakek-kakek. Sekarang sudah banyak yang dengan bangga bilang kalau dia minum kopi fine robusta. Penikmat kopi fine robusta semakin banyak. Mulai banyak roaster, baik di Indonesia atau di luar negeri, yang menyangrai kopi fine robusta. Baik sebagai blend maupun single origin. Orang semakin aware bahwa kopi yang baik membutuhkan sortasi. Sama seperti halnya arabika spesialti.
Namun yang disayangkan banyak orang yang menjual kopi robusta kualitas kurang baik dengan label fine robusta, hanya untuk mendapatkan harga jual yang lebih tinggi. Tanpa memperdulikan masalah sortir ataupun pembersihan defect.
Saya merasa potensi negeri ini ada pada robustanya. Terutama mengingat kita adalah negara yang menghasilkan robusta lebih banyak dari arabika. Pemanasan global akan mengakibatkan area tanam arabika lebih naik lagi ke atas gunung, dan terpaksa bersaing dengan hutan lindung. Dan kita akan terpaksa menanam kopi arabika yang klonnya mempunyai sifat robusta, demi ketahanan hamanya, namun mengorbankan karakter rasa arabikanya.
Selain itu akan susah untuk kopi arabika Indonesia untuk bersaing secara rasa dengan kopi arabika dari Afrika, maupun secara produktifitas dengan kopi Amerika Latin. Sementara saat itu negara yang serius dengan fine robusta hanya India. Bila saat itu kita mau serius dengan fine robusta, potensi kita di dunia sangat baik. Sayangnya kita sedikit terlambat. Vietnam, Laos, dan Filipina sudah mulai serius dengan robustanya. Kita punya kompetitor berat.

Iya. Baik untuk single origin espresso ataupun blend. Apalagi orang Asia sangat terbiasa dengan karakter robusta.
Secara rasa cukup berpengaruh. Kopi kan sangat terpengaruh oleh iklim, kelembaban dan curah hujan. Iklimnya berubah rasa pasti berubah.
Namun yang paling terlihat adalah naiknya konsumsi. Makin banyak processor yang mengolah fine robusta, dan makin banyak roaster yang tertarik pada kopi fine robusta. Terutama akibat naiknya harga arabika beberapa tahun terakhir. Roaster yang terjepit antara mahalnya harga green bean & konsumen yang tidak mau harga naik, harus mencari alternatif. Akhirnya konsumen mulai bisa menikmati kopi fine robusta. Dan mulai bisa memilih.
Saya ingat sekali beberapa tahun lalu, saat bertemu seorang anak muda pekerja digital agensi terkenal di Jakarta yang dengan bangganya bercerita bahwa dia tidak minum kopi sampah seperti robusta. Dia hanya minum arabika. Namun jatuh cinta dengan robusta, saat saya sajikan kopi fine robusta. Kopi yang aromanya mengingatkan pada memori masa kecilnya, namun tetap punya sweetness dan acidity di dalamnya. Kadang kita menelan bulat-bulat apa yang kita baca, atau orang lain percaya, tanpa mencoba sendiri sebelumnya.
Ada beberapa. Yang paling stabil sejauh ini buat saya, di Lampung Barat (pemrosesnya tidak mau disebutkan namanya). Tapi favorit saya secara rasa beberapa tahun terakhir ini fine robusta Wonosobo.
Ada satu kopi fine robusta dari Bali yang sangat memorable buat saya, saat kalibrasi Q Robusta beberapa tahun lalu nilai rata-ratanya antara 88-90. Sayangnya panen setelahnya kualitas rasanya menurun.
Ada lelang kopi Indonesia Specialty Microlot yang diadakan setiap tahun. Di lelang ini tidak hanya menampilkan arabika spesialti, namun juga fine robusta. Selain itu perlu mengadakan sosialisasi mengenai kopi fine robusta, baik dari segi sortir maupun uji cupping-nya, yang dari beberapa hal cukup berbeda dengan arabika spesialti. Sehingga fine robusta betul-betul merepresentasikan kualitasnya, tidak hanya label yang ditaruh penjual untuk mengangkat harga jual kopinya.

Rasa :
Rasa tersebut dari kontaminan/defect. Robusta can be good if you treat them properly. Bayangkan perempuan cantik eksotis yg tidak pernah mandi. Pasti tidak menarik kan? Tapi saat dia membersihkan diri (seperti sortir pada kopi), dia akan lebih menarik. Tanpa sortir rasa robusta akan tidak enak seperti yang sering dirasakan di kopi komersial.
Defect :
Kalau kita melihat kopi robusta komersial pasti warnanya tidak seragam. Banyak defect. Ada biji hitam (black bean), biji masam (sour bean), kopi berjamur (fungus), biji putih (chalky), biji hijau yang belum matang (green/unripe).
Kadang sering sedih saat melihat fisik kopi yang dijual sebagai fine robusta, tapi ditemukan biji putih (chalky) akibat pulper dan hijau belum matang (green) akibat petik rorotan. Dan rasanya setelah di-cupping rasanya mengingatkan pada ikan gurame, amis dan bau tanah. Akibat fungus defect.
Semakin banyak orang yang mengerti mengenai fine robusta, tidak sebatas label. Dan semoga konsumsi kita semakin tinggi kedepannya untuk kopi robusta. Karena kalau bicara soal menyejahterakan petani, petani robusta biasanya yg paling kurang beruntung hidupnya. Semoga produktivitas per pohonnya juga semakin baik, sehingga tidak kalah dengan Viet Nam.
saya sangat senang dengan pemikiran mba mia ,yg berani mendobrak perkopian di indonesia yg saat ini slalu membahas kopi arabika ,dan ini ilmu baru bagi saya dari mba mia,smoga diluar sana ada yg brani seperti mba mia,membahas kopi robusta se asikk ini …
Artikel yang sangat menarik. Sayangnya tidak diimbangi dengan perbuatan nyata dan komitmen Otten Coffee dalam mendukung perkembangan kopi Robusta. Saya perhatikan semua kopi yang dijual di Otten Coffe adalah kopi Arabika.
Terima kasih komentarnya. Tidak semua kopi yang di Otten Coffee arabika, kok. Ada juga Robusta Sidikalang dan Gayo.
robusta itu emas !
Semoga suatu saat saya bisa belajar, atau minimal ngobrol dengan Mbak Mia. Saya baru memulai masuk roastery dan sebagian besar kopi saya robusta.